Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler.[2] Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (Nusantara merupakan wilayah dengan penduduk muslim terbanyak di dunia[3]), 6,96% Kristen Protestan, 2,9% Kristen Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.[1]
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".[4] Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.[5] Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.[6][7][8]
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.[9]
Sejarah
Sampai awal era Masehi, orang-orang Nusantara (suku bangsa Austronesia serta bangsa Papua) mengikuti kepercayaan dan adat-istiadat kesukuan asli.[10]
Berdasar sejarah, kelompok pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan budaya di dalam negeri dengan pendatang dari subbenua India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda.[11] Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan budaya di Indonesia.
Agama Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa dan Sulawesi dengan membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.[12] Hinduisme memiliki pengaruh yang menentukan pada ideologi pemerintahan satu orang Raja.[13]
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui pedagang di Gujarat, India,[11] sementara ilmuwan juga mempertahankan teori dari Arab dan Persia.[14] Islam menyebar sampai pantai barat Sumatra dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.[15]
Kekristenan, yakni Gereja Asiria Timur beraliran Nestorianisme telah hadir di Nusantara di Sumatra Utara pada abad ke-7.[16] Fakta ini ditegaskan kembali oleh Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Fakta ini dapat dimengerti dengan penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku "Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya". yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Dengan terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatra Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik di Indonesia, seri 1, diterbitkan oleh KWI).
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor.[17]
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionaris pun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatra juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.[18]
Periode Orde Lama Sukarno (dari tahun 1945 hingga 1965) adalah gangguan antara agama dan negara.[19] Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk pada abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis.[20] Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha.[21]
Enam agama utama
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)".[5]
Islam
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia,[22][3] dengan 87,18% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam.[1] Mayoritas muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia (seperti di Jawa dan Sumatra) hingga wilayah pesisir Pulau Kalimantan. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat.[23][24]
Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan kesempurnaan tersebut kedalam kultur. Pada abad ke-13, sebagian besar pedagang orang Islam dari Gujarat, India tiba di pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan (misalnya, sekitar tahun 1297 telah ada jemaah di Peureulak, Aceh Timur). Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam.[15] Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut Hindu yang berpindah ke Bali, sebagian Jawa dan Sumatra. Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah.[25]
- Sunni
Kebanyakan mutlak, sekitar 98% umat Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni dari mazhab Syafi'i dan sebagian mazhab-mazhab Sunni lainnya[26] serta gerakan Salafiyah[27]. Dua jurusan Sunni utrama ialah Islam Tradisionalis (semisal, ormas Nahdlatul 'Ulama) dan Modernisme Islam (Muhammadiyah, dan lain-lain).[28] Berada sejumlah tarekat dari Sufisme (Tasawuf).[29] Di beberapa daerah, orang melanjutkan kepercayaan lama mereka dan mengadopsi versi sinkretik Islam, umpamanya kaum Abangan di Jawa.[30][31]
- Syiah
Aliran Syiah memainkan peran penting dalam periode awal penyebaran Islam di Sumatra Utara (Aceh).[32] Kini, sisanya, di atas 1% pengikut, yakni 1–3 juta orang, adalah Syiah mazhab Dua Belas Imam, Islam Syiah di Indonesia berada di Sumatra, Jawa, Madura, dan Sulawesi, dan juga mazhab Ismailiyah di Bali.[33] Semisal di antara subsuku Hadhrami Arab-Indonesia[34]. Perkumpulannya utama yalah “Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia” (IJABI).[35]
- Ahmadiyyah
Ada pula sekitar 400 ribu (0,2%) pemeluk aliran Ahmadiyyah (“Jamaah Muslim Ahmadiyah Indonesia”, JMAI) yang kehadirannya belakangan ini sering dipertanyakan. Ahmadiyyah di Indonesia telah hadir sejak tahun 1925.[36] Pada tanggal 9 Juni 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang Ahmadiyah melakukan aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya.[37] Dari Ahmadiyyah utama memisahkan diri “Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia” (GAI) lebih kecil yang di Jawa sejak tahun 1924.[36]
Kekristenan
Kristen Protestan
Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.[38][39]
Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja, Toraja Utara, Mamasa, Poso dan Sulawesi Utara (Kecuali Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Utara dan Kota Kotamobagu) . Sekitar 80% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. Di beberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini, tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.[40]
Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, dengan persentase berurutan 65,48%, 63,60%, dan 53,77% dari jumlah penduduk.[1] Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli. Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar beriringan dengan agama Islam. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk Suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan sebagian Angkola) dan Nias di Sumatra Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan.[41][40] Saat ini, 6,69% dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Protestan.[1]
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) merupakan wadah tunggal payung bagi kebanyakan gereja Protestan Nusantara.[42]
Kristen Katolik
Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatra Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.[43]
Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547, pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan beberapa ribu penduduk setempat.[44]
Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Prancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda.[45][39]
Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya usahanya tidak membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala desa dari daerah Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15 Desember 1904, sebanyak 178 orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.[46]
Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores. Selain di Flores, kantung Katolik yang cukup signifikan adalah di Jawa Tengah, yakni kawasan sekitar Muntilan, Magelang, Klaten, serta Yogyakarta. Selain masyarakat Jawa, iman Katolik juga menyebar di kalangan warga Tionghoa-Indonesia.[47]
Di Indonesia, terdapat satu provinsi yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik, yaitu Nusa Tenggara Timur dengan persentase 54,14% dari populasi penduduk provinsi tersebut.[1]
Kristen Ortodoks
Pada abad ke-20 Gereja Ortodoks Timur hadir secara resmi dengan nama Gereja Ortodoks Indonesia (GOI), dimana para imam Ortodoks di Indonesia berasal dari dua kewilayahan, yaitu awalnya Gereja Ortodoks Yunani Kepatriarkan Konstantinopel dan kemudian Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia Kepatriarkan Moskow. Ketua umum Gereja Ortodoks Indonesia adalah Arkimandrit Romo Daniel Bambang Dwi Byantoro, Ph.D. yang adalah imam Indonesia pertama Gereja Ortodoks di Indonesia. Selain itu di Indonesia ada Gereja Ortodoks Oriental, yakni kelompok Gereja Ortodoks Suryani dan Gereja Ortodoks Koptik.[48]
Hindu
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai zaman Hindu-Buddha Nusantara, bertahan selama 16 abad penuh.[49]
Agama Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia.[50][51] Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Keyakinan Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.[50][52]
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2010 adalah 4 juta orang, 1,7% dari jumlah penduduk Indonesia,[1] merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia yang memberi suatu perkiraan bahwa ada 10 juta orang Hindu.[53] Kebanyakan mutlak penganut Hindu berada di Bali dan bersatu dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain Bali juga terdapat di Sumatra, Jawa (teristimewa kawasan Jabodetabek), Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. yang juga memiliki populasi pendatang suku Bali cukup besar. Orang Hindu Tamil dari suku India-Indonesia di Medan mewakili konsentrasi Hindu penting lain.[53]
Di Kalimantan Tengah berada umat Hindu Kaharingan, agama asli suku Dayak yang digabungkan ke dalam agama Hindu (tidak semua penganutnya setuju),[54], pula ada Agama Hindu Jawa suku Tengger,[55] Hindu Tolotang suku Bugis,[56], dan Aluk Todolo suku Toraja[57].
Agama Hindu Jawa telah terbentuk dengan cara yang berbeda sehingga lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen.[58]
Telah pula disajikan beberapa gerakan Neo-Vedanta/Neohindu antarabangsa, seperti misalnya, Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna dan organisasi dari Sathya Sai Baba,[53] Chinmaya Mission, Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaja Yoga, dan Haidakhandi Samaj.[59]
Buddha
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-5 masehi atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama: kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.[49]
Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi Buddha dan satu aliran bersatu Buddhayana. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.[60][61]
Di antara umat Buddhis Indonesia berada semua aliran Buddha utama: Mahayana, Wajrayana, dan Therawada. Kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia mengikuti aliran yang sinkretis dengan kepercayaan Tiongkok, yaini Tridharma dan juga Ikuanisme (Maytreya).[62]
Menurut sensus nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama Konghucu (hingga tahun 1998) dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha.[63]
Konghucu
Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial.[64] Pada tahun 1883 di Surabaya didirikan tempat ibadah Khonghucu — Boen Tjhiang Soe, dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao). Pada tahun 1900 pemeluk Konghucu membentuk lembaga Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.[65][66]
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKTHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka.[67][68][66]
Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta mengimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui bagaimana cara mengendalikan Tionghoa-Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian Indonesia. Pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di depan konferensi PKTHI.[68][66]
Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan—menggantikan keputusan presiden tahun 1967—mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Konghucu.[68][66] Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia.[67]
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.[68][66]
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.[69]
Agama-agama asli
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Parmalim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Sejumlah agama nenek moyangsuku bangsa Austronesia dan Papua yang berdominasi di seluruh Nusantara sebelum masuk agama-agama asing. Beberapa dari mereka masih hidup sebagai kepercayaan adat yang murni atau telah sinkretis, yaitu agama:
- Adat Musi (suku Talaud);
- Adat Papua (suku Asmat, dll);
- Aluk Todolo (suku Toraja);
- Arat Sabulungan (suku Mentawai, teristimewa subsuku Sakuddei);
- Jingi Tiu (suku Sabu);
- Kaharingan (suku Dayak);
- Kejawen (suku Jawa);
- Marapu (suku Sumba);
- Masade (suku Sangir);
- Naurus (suku Manusela);
- Parmalim (suku Batak);
- Pelebegu (suku Nias);
- Pemena (suku Batak Karo);
- Sunda Wiwitan (suku Sunda, teristimewa urang Kanekes);
- Tolotang (suku Bugis);
- Tonaas Walian (suku Minahasa);
- Wetu Telu (suku Sasak);
- Wor (suku Biak).[70][71][72]
Jumlah tak resmi penghayat kepercayaan di Indonesia adalah hingga 20 juta orang.[8]
Agama nenek moyang berisi animisme, kepercayaan terhadap benda mati yang mana, suatu kepercayaan terhadap objek tertentu, seperti pohon, padi, batu atau orang-orang. Kepercayaan ini telah ada dalam sejarah Indonesia yang paling awal, di sekitar pada abad pertama, tepat sebelum Hindu tiba Indonesia. Lagipula, dua ribu tahun kemudian, dengan keberadaan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan agama lainnya, penyembah benda mati masih tersisa di beberapa wilayah di Indonesia. Penyembah benda mati, pada sisi lain tidak percaya akan dewa tertentu.[11]
Aliran-aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, ditegaskan bahwa putusan perintah tentang Administrasi Kependudukan untuk mengosongkan kolom KTP dan dokumen kependudukan lain bagi penduduk yang “agamanya belum diakui sebagai agama” maupun kelompok "Kepercayaan", bertentangan dengan Konstitusi, yakni kelompok-kelompok penghayat kepercayaan kini dapat mencantumkan nama “penghayat kepercayaan” dalam dokumen kependudukan mereka.[6] [7][8]
Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) ialah wadah tunggal sebagai payung bagi kumpulan-kumpulan kepercayaan.[73]
Saminisme
Gerakan Samin (Sedulur Sikep), para pengikut Samin Surosentiko yang menolak pandangan kapitalis dari penjajah Belanda untuk gaya hidup sederhana, didirikan di Jawa Utara-Tengah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[74]
Agama dan kepercayaan lainnya
Beberapa agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia, yaitu:
Yahudi
Pendirian Yahudi awal di Nusantara berasal dari Portugal dan Spanyol (subsuku Sefardim) pada abad ke-17. Di abad ke-19 orang Yahudi dari Belanda, German dan India datang untuk berdagang rempah dan tinggal di Jakarta, Semarang (subsuku Yahudi Ashkenazi), dan Surabaya (Sefardim dan Mizrakhi Baghdadi). Pada tahun 1945, terdapat sekitar 2 ribu Yahudi Belanda di Indonesia. Pada tahun 1957, dilaporkan masih ada sekitar 450 orang Yahudi, terutama Ashkenazi di Jakarta dan Sefardim di Surabaya. Komunitas ini berkurang menjadi 50 pada tahun 1963. Pada tahun 1997, hanya terdapat 20 orang Yahudi, beberapa berada di Jakarta dan sedikit keluarga Baghdadi di Surabaya.[76][77]
Yahudi di Surabaya pernah memiliki sinagoge (tempat ibadat). Mereka hanya melakukan sedikit hubungan dengan Yahudi di luar Indonesia. Tidak ada pelayanan yang diberikan pada sinagoge. Sinagoge ini telah ditutup oleh umat Muslim yang menentang Perang Gaza 2008–2009.[78] Satu-satunya sinagoge yang masih tersisa terletak di kota Tondano, Sulawesi Utara, yang dihadiri oleh sekitar 10 orang beraliran Yahudi Ortodoks (kelompok Yudaisme Hasidut dari Chabad-Labavitch).[78][77]
Di Indonesia saat ini telah dibentuk "The United Indonesian Jewish Community–Gabungan Masyarakat Yahudi dan Turunan Ibrani Indonesia" (UIJC) oleh komunitas keturunan Yahudi Indonesia semua aliran. Organisasi ini sudah dibentuk sejak tahun 2009, tetapi baru diresmikan pada Oktober 2010. UIJC ini dipimpin oleh keluarga Verbrugge. Menurut sumber dari UIJC saat ini keturunan Yahudi di Indonesia yang sudah diketahui hampir mendekati 2 ribuan orang. Yang sudah terdeteksi 500-an, tersebar hampir merata di seluruh Indonesia.[77]. Dan pada 2015, pusat resmi Yahudi pertama oleh rabi Tovia Singer, "Beit Torat Chaim" di Jakarta, diresmikan oleh Kementerian Agama.[79]
Baha'i
Di Indonesia hadir 22 ribu 115 orang pemeluk agama baru Baha'i pada tahun 2005.[80] Berapa jumlah mereka sebenarnya tidak diketahui dengan pasti karena seringkali mereka mengalami tekanan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya.[81]
Sejak 2014, keadaannya telah membaik dalam rencana Pemerintah untuk kemungkinan pengakuan agama ini (ada pendapat yang salah tentang sudah diadakan pengakuan resmi Baha'i pada tahun 2014).[82][83]
Sikh
Migrasi kaum Sikh ke Indonesia mulai sejak th 1870-an (kaum menjaga serta pedagang). Ada beberapa gurdwara (tempat ibadah) dan sekolahnya di Sumatra dan Jawa, semisal gurdwara di Medan yang dibangun pada tahun 1911. Pada tahun 2005 didirikan “Majelis Tinggi Agama Sikh Indonesia” (Matasi). Berjumlah sekira 7 ribu orang (atau 10–15 ribu[53]), Sikh tidak termasuk dalam enam agama yang diakui di Indonesia, para penganut Sikh mengisi kolom agama pada KTP mereka dengan kata “Hindu”.[84]
Terlepas dari Sikh ortodoks di Indonesia mewakili juga gerakan reformis Sikh Radha Soami Satsang Beas (RSSB).[85]
Jainisme
Di Jakarta ada kelompok kecil agama kuno Jain — “Jain Social Group Indonesia (JSG Indonesia)” di antara kaum India-Indonesia.
Hubungan antar agama
Walaupun Pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Pada masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama.[67][91] Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam.[92]
Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam, terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus kerusuhan Kepulauan Maluku dan kerusuhan Poso.[93]
Pada tahun 2007—2012 ada serangan dari kaum Sunni terhadap masjid dan rumah-rumah Syiah dan Ahmadiyyah.[94] Untuk mencegah hal ini terjadi di masa depan, pada tahun 2011, khususnya, didirikan Mejlis Sunni dan Syiah (MUHSIN).[95]
Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut.[96] Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar